Senin, 01 Juli 2013

REFORMASI AGRARIA: MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN



Meskipun ilmu ekonomi pertanian telah memberikan “andil” pada pemahaman masalah-masalah produktifitas dan efisiensi produksi pertanian, namun masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keadilan sosial (Mubyarto, 1987:620)


Pendahuluan

Dalam rangka renungan “5 tahun krismon”, pakar-pakar ekonomi pertanian kita kini nampak gusar karena dampak awal krismon yang positif terhadap pertanian rupanya telah berubah menjadi kondisi yang sangat berat menekan kegiatan pertanian. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Tema diskusi panel adalah “Pembangunan Agraria dan Pembaruan Pengelolaan Sumberdaya Alam bagi Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis”. Mengapa harus ada pembaruan (reformasi), dan mengapa agribisnis? Jika kesejahteraan petani tetap menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata per­tanian kini tidak lagi disebut-sebut. Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Memang Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat Ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang sudah bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR adalah ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”.

Ideologi Agribisnis
Ideology provides a lens through which one sees the world; a set of beliefs that are held so firmly that one hardly needs empirical confirmation. Evidence that contradicts those beliefs is summarily dismissed (Stiglitz, 2002:222).  
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah  menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak ada program S2 Pertanian, tetapi program Magister atau MM Agribisnis yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan produksi, termasuk pengunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.
Jika kita jujur mengamati praktek pertanian sebagian besar petani kita, maka teori dan praktek agribisnis yang kita baca dalam buku-buku teks terbitan Amerika barulah merupakan gambaran “abstrak-ideal”. Memang di Amerika praktek-praktek agribisnis ini sudah ada dan sangat berkembang, tetapi luas pemilikan tanah pertanian per petani adalah rata-rata  100 ha, sedangkan di Indonesia kurang dari 0,5 ha. Usaha tani (farm) di Indonesia sebagian besar bersifat subsisten, tidak komersial, sehingga pengertian dan konsep agribisnis tidak cocok diterapkan.

Krismon Dosa Siapa?
Di Koran-koran kini tidak ada lagi orang menyebut krismon, krisis keuangan, atau krisis perbankan, karena lebih mudah  menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Mengapa disebut krisis ekonomi padahal banyak orang termasuk Amartya Sen penerima hadiah Nobel Ekonomi tidak setuju menyebutnya sebagai krisis ekonomi laksana “kiamat”.
Take for example, the crisis in Indonesia, Thailand, earlier on, even in South Korea. It may be wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or 10 percent fall in gross national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed at the aggregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen, 2000: 187)
Jika masyarakat umum kini berbicara tentang krisis ekonomi sebenarnya mereka sekedar ikut meneriakkan suara orang-orang atau pengusaha-pengusaha kaya yang tidak lagi seperti masa Orde Baru mampu memperoleh keuntungan mudah melalui cara-cara berburu rente (rent seeking) yaitu sejumlah kecil pengusaha yang memperoleh keuntungan luar biasa besar (hampir tanpa kerja), meskipun mereka tahu sejumlah besar pengusaha atau masyarakat dirugikan. Keuntungan sangat besar yang dulu mereka peroleh melalui persekongkolan dengan pemerintah (KKN) kini tidak dapat lagi mereka peroleh karena pemerintah sendiri sudah jatuh miskin, dan berutang banyak. Maka segala peluang mengejar rente ini sudah tertutup. Mereka (terutama eks konglomerat) memang bermimpi “memulihkan kembali” (recovery) perekonomian pra krismon dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, bila perlu dengan utang-utang baru dalam rangka “pengobatan ala IMF”, dan dengan menarik investor-investor asing dengan segala cara.
Sebenarnya MPR hasil Pemilu 1999 telah tegas-tegas  menunjuk konglomerat sebagai penyebab krismon yang menyengsarakan seluruh rakyat dan yang terutama memiskinkan pemerintah. Tetapi hebatnya, kini mereka berhasil menciptakan kesan bukan mereka yang salah tetapi yang salah adalah pemerintah, IMF, atau spekulan dari luar negeri.

Reformasi Agraria yang bagaimana?
Kini tidak lagi mudah menyepakati apa yang harus direformasi dalam bidang agraria, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu telah kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah tidak dipatuhi, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama dari kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak akan lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial setelah Repelita I baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta menjadi leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri berorientasi promosi ekspor, yang kebanyakan dengan bekerjasama  dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Perlu dicatat bahwa dalam kata agriculture ada pengertian budaya pertanian, way of life, atau livelihood petani, yang tidak semuanya dapat dibisniskan. Maka jika kita ingin mengadakan pembaruan (reformasi) justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti  agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan dan budaya kita.


Penutup

Kami khawatir tinjauan aspek sosial-ekonomi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berse­berangan dengan kerangka pikir panitia penyelenggara, yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Reformasi Agraria harus berarti pembaruan penataan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
Assuming the framework of institutions required by equal liberty and fair equality of opportunity, the higher expectations of those better situated are just if and only if they work as part of a scheme which improves the expectations of the least advantaged members of society (Rawls, 1971:74)



Prof. Dr. Mubyarto:
Guru Besar FE - UGM
Makalah diskusi panel "Pembaruan Agraria", Departemen Pertanian, Hotel Salak, Bogor, 11 September 2002.

Bacaan

1.       Burk, Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London – New York.
2.       Elliot, Jenniver A. 1994. An Introduction to Sustainable Development: The Developing World, Routledge London, New York.
3.       Mubyarto, 1987. “Masyarakat Pedesaan di Indonesia Dewasa ini dan Tantangan Profesional Ilmu Ekonomi Pertanian” dalam Hendra Esmara (ed). Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
4.       Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2000. A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada UP, Yogyakarta.
5.       Shepherd, Andrew. 1998. Sustainable Rural Development, Macmillan, London – St. Martin’s, London New York.
6.       Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and its Discontents. Norton. New York.
7.       Trainer, Ted. 1996. Towards A Sustainable Economy: The Need for Fundamental Change, Envirobook, Sydney.

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN (KRITIK TERHADAP PARADIGMA AGRIBISNIS)


Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.
Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah  menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”. Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis Yang Keliru      
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.
Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.  
Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti  agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.
Kesimpulan
Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat
Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
  30 April 2003


Prof. Dr. MubyartoGuru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Awan Santosa - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)

DAMPAK MINIMNYA PENDIDIKAN DI INDONESIA


Era globalisasi adalah era keterbukaan, dimana pada era tersebut persaingan di segala bidang akan muncul. Tumbuh pesatnya persaingan akan mendorong dan menuntut kita untuk memiliki kompetensi yang lebih dari rata – rata dalam suatu bidang. Jika kita tidak memiliki sesuatu yang tadi kita sebut sebagai kompetensi atau kemampuan, maka kita akan terinjak, kita hanya bisa menikmati era globalisasi dari bangku penonton.
Globalisasi memprasyaratkan persiapan sumber daya manusia yang berkualitas (qualified human resource), tentunya dengan tingkat penguasaan sains dan tekhnologi yang mumpuni, terutama tekhnologi komunikasi, dan dengan pembekalan basic moralitas yang tergali dari kearifan tradisi-kultural dan nilai-nilai doktrinal agama yang kuat. Tanpa itu semua, kehadiran bangsa kita yang sudah nyata-nyata berada di tengah pentas kompetisi global, hanya sekedar akan semakin menyengsarakan masyarakat lokal (nasional) dan menempatkan bangsa kita pada wilayah pinggiran (peripheral), hanya menjadi penonton dari hiruk-pikuknya percaturan negara-negara secara global di berbagai dimensi kehidupan. Lebih dari itu, ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan ekses negatif yang tidak sedikit jumlahnya bagi seluruh masyarakat, baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Di sinilah, sekali lagi, bahwa pendidikan menjadi agenda prioritas kebangsaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk diperbaiki seoptimal mungkin.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Pendidikan merupakan bentuk dari investasi jangka panjang (long-term investmen), yaitu dengan mempersiapkan SDM yang berkualitas melalui saluran pendidikan. Artinya, untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas di masa depan, sudah barang tentu masyarakat harus melakukan investasi sebesar-besarnya untuk peningkatan kualitas (proses dan hasil) dunia pendidikan. Untuk berpartisipasi dalam berinvestasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tentu membutuhkan pengeluaran dana (finance) yang tidak sedikit, sedangkan sebagian besar masyarakat kita, mayoritas masyarakat yang secara ekonomi dalam kategori menengah ke bawah, sehingga tidak memungkinkan untuk diharapkan kontribusinya secara maksimal. Lantas kalau sudah demikian, apa yang paling memungkinkan yang bisa kita perbuat untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa, mencetak SDM yang berkualitas dan memperkuat basis moral dan agama warga negara, terutama generasi mudanya, dalam kondisi yang sangat menyulitkan ini (krisis multidimensional) ?
Di situlah peran pendidikan, pendidikan akan membekali kita dalam persaingan tersebut. Pendidikan sebagai tonggak prinsip kita. Kenapa dikatakan begitu? Karena jika kita memilih untuk bergerak dalam suatu bidang namun kita tidak memiliki tonggak pendidikan yang kuat maka tentunya kita tidak akan mampu bertahan di dalam era globalisasi.
Dengan dasar diatas sehingga penulis mengajak kepada segenap generasi muda yang selama ini menyandang predikat “AGENT OF CHANGE” untuk ikut mewujudkan dalam proses pembentukan dan pendewasaan repoblik tercinta ini teritama dalam kontek pendidikan mengingat minimnya kesadaran masyarakat luas tentang arti pendidikan. Hanya sedikit orang yang rela melakukan apapun demi medapatkan pendidikan yang layak untuk dirinya.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.

Disusun oleh: Ach.Yulianto
Disampaikan Dalam DISKUSI DI YAYASAN NURUL ISLAM SEPANGKUR BESAR

BIBIT


BAB I
PENDAHULUAN

  1. PENGERTIAN BENIH DAN BIBIT
1.       Pengertian benih
        Benih adalah bahan pertanaman berupa biji yang berasal dari biji yang terpilih. Sedangkan biji yang terpilih adalah biji yang telah mengalami seleksi atau pemilihan. Dan biji adalah hasil dari persarian suatu tanaman.
2.       Pengertian bibit
        Bibit adalah bahan pertanaman berupa vegetative, terdiri dari :
·         Tanaman muda asal biji, misalnya :
-          Bibit cabutan
-          Bibit puteran
-          Bibit setump
·         Bahan tanaman asal pembiakan secara vegetative misalnya :
-          Cangkokan
-          Stek
·         Organ khusus dari tanaman, misalnya :
-          Setolon
-          Umbi batang
-          Bulbus dan suing
-          Bulbil
-          Anakan
  1. PENGERTIAN JENIS UNGGUL DAN BENIH UNGGUL
1.       Jenis unggul
       Jenis unggul atau varietas unggul adalah jenis yang mempunyai sifat-sifat lebih baik dari pada jenis-jenis lainnya. Untuk jenis unggul sifat-sifat penting yang harus dimiliki ialah :
·         Daya hasil tinggi
·         Umur pendek
·         Respons terhadap pemupukan
·         Tahan terhadap serangan hama dan penyakit
·         Tahan terhadap gaya-gaya perusak dari luar lainnya
·         Mudah pemeliharaannya
·         Mutu hasilnya baik
Contoh beberapa jenis unggul :
Jagung : Metro, Malin, Harapan, Bastar kuning, Kanya putih, Bima, Pandu, Permadi.
Padi : Sinta, Dewi tara, PB5, PB8, si Ampat (C4-63), Pelita I/1 dan Pelita I/2.
Kacang tanah : Gajah (No. 61), Macan (No. 62), Banteng (No. 68) dan Kijang (No. 68).
Ubi Kayu : V-629.
Kentang : Desiree, Patronas, Donata, Radosa, Rapan 104 dan Rapan 181.
Tomat : Maascros, Bonset, Extase, Semooth Skin dan Money Maker.
2.       Benih unggul
       Benih unggul adalah benih yang berasal dari jenis unggul, yang berkwalitas baik, ditinjau dari segi kemurnian benih, kebersihan benih, daya tumbuh dan kesehatan benih.
     Pemakaian benih unggul merupakan salah satu factor penting yang menentukan tinggi rendahnya hasil persatuan luas suatu pertanaman.
3.       Jenis unggul dalam hubungannya dengan hasil.
      Pemakaian jenis unggul menjadi salah satu syarat untuk meningkatkan hasil, maka kesadaran petani untuk berjenis umggul (dan berbenih unggul) adalah merupakan kunci utama peningkatan produksi. Maka untuk mempermudah pengawasan dan pembinaan sistim perbanyakan benih unggul dari suatu jenis unggul demi menjamin mutu benihnya, diadakan klasifikasi benih, yaitu :
a.      Breeder Seed (Benih Teras)  


Benih ini di perbanyak dan langsung di hasilkan atau di awasi oleh seorang breeder (pemulia) yang membuat benih tsb breeder seed ini di sediakan oleh seorang breeder atau lembaga penelitian untuk pembuatan foundation seed .
b.      Foundation seed (benih dasar)
      Foundation seed adalah benih yang langsung di perbanyak dari breeder seed. Identitas genetis dan kemurniaan dari jenis dipertahankan di dalam foundation seed. Benih ini di hasilkan dan di awasi secara teliti dan disahkan oleh lembaga penelitian atau perwakilannya. Foundation seed adalah merupakan sumber dari semua kelas certified seed,apakah langsung atau melalui registered seed.
c.       Registered seed
    Registered seed adalah keturunan dari foundation seed atau registered seed. Registered seed mempertahankan secara cukup identitas genetis dan kemurnian dari jenis untuk produksi certified seed.
d.      Certified seed
Certified seed adalah keturunan dari foundation,registered atau certified seed. Certified seed harus dikuasai sedemikian untuk mempertahankan identitas genetis secara cukup dan kemurnian dari jenis yang akan disahkan oleh orang yang di tugaskan untuk ini,misalnya oleh inspektur benih diperta yang sudah mendapat latian dari lembaga. Certified seed ini dapat ditanam oleh petani penanam benih dari penangkar benih.
  1. ISTILAH-ISTILAH YANG SERING DIGUNAKAN DALAM HUBUNGAN DENGAN BENIH DAN BIBIT
1.       Populasi
      Populasi adalah kumpulan tumbuhan yang terdiri dari tumbuhan yang tidak terlalu banyak berbeda satu sama lain,tetapi juga sama sekali tidak sama satu dengan yang lainnya.
      Populasi biasanya terdiri dari campuran lini murni yang perbedaan satu dengan lainnya kecil sekali,sehingga sukar untuk di beda-bedakan
      Populasi di peroleh dengan seleksi setempat yang tidak di sengaja,misalnya: jenis daerah,populasi buatan.
2.       Varietas (jenis) dan Klon.
      Jenis adalah kumpulan tumbuhan yang termasuk dalam satu spesies,hasil dari suatu pembiakan generative,yang terdiri dari tumbuhan yang berbeda karena keadaan luar yang berbeda. Perbedaan ini tidak menurun. Kalau keadaan luar sama,perbedaan ini dapat hilang.misalnya: jenis padi,jenis jagung.
     Dapat juga dikatakan, jenis adalah tumbuhan asal dengan semua keturunan yaitu anak-anak dan cucu-cucu yang berbiak secara vegetative.
     Jikalau kumpulan tumbuhan tersebut dihasilkan dari suatu pembiakan vegetative maka disebut klon.misalnya: tebu, klon ubi kayu, klon karet
     Dapat juga dikatakan ,klon adalah tumbuhan asal dengan semua keturunan yaitu anak-anak dan cucu-cucu yang berbiak secara vegetative.
3.       Strain
     Strain adalah kumpulan tumbuhan yang mempunyai variabilitas yang kecil sekali, terutama sifat dalamnya. Sifat individu yang menyerupai satu sama lain : sifat-sifat ini adalah menurun
     Istilah strain lebih tepat dipergunakan pada binatang, sedangkan pada tumbuhan lebih tepat dipergunakan istilah galur.
4.       Biji sapuan
     Biji sapuan adalah biji-biji yang dikumpulkan dari sebuah kebun tanaman biji, tanpa pemilihan biji.
5.       Biji Legitim
     Biji legitim adalah biji-biji yang dihasilkan dari persilangan pohon induk yang dipilih (Biklonal) . bijinya telah terpilh.
6.       Biji prope legitim
     Biji prope legitim adalah biji-biji dari tanaman biji (pohon induk) yang terpilih, tetapi ayahnya tidak diketahui.
  1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU BENIH.
         Benih dapat diluluskan dalam pengujian di laboratorium dan dapat diberikan sertifikasi, jika memenuhi syarat-syarat yang tercakup dalam factor-faktor sbb :
1.       Kemurnian benih
     Kemurnian benih mencakup :
·         Tidak tercampur dengan jenis lain,
-          Benih seragam (homogen)
·         Tidak tercampur secara mekanis atau fisis dengan kotoran-kotoran,
-          Campuran yang tidak merusak yaitu : batu-batu kecil, butir-butir tanah, biji-biji yang mati atau rusak
-          Campuran yang merusak yaitu : biji-biji, rumput-rumputan
       Campuran-campuran ini akan merugikan dan dapat menyebabkan ditolaknya benih tersebut.
       Kemurnian benih dapat dihitung % berat biji murni terhadap jumlah berat benih seluruhnya.
2.       Tenaga tumbuh dan kecepatan tumbuh
         Tenaga tumbuh (daya tumbuh) adalah daya untuk berkecambah, dinyatakan dengan banyaknya biji yang berkecambah, dihitung dalam % pada keadaan jangka waktu tertentu untuk berkecambah. Jangka waktu untuk berkecambah ini berbeda pada setiap tumbuhan. Dalam waktu ini biasanya semua biji yang baik sudah berkecambah.
          Kecepatan tumbuh adalah banyaknya biji yang berkecambah dihitung dalam %, dalam jangka waktu yang lebih pendek dari pada waktu untuk menetapkan tenaga tumbuh. Kecepatan tumbuh sehubungan dengan besarnya % biji yang dapat berkecambah dengan cepat.
          Di dalam praktek tenaga tumbuh biasanya mempunyai arti yang lebih penting daripada kecepatan tumbuh.
          Sebab-sebab yang dapat menurunkan tenaga tumbuh dan kecepatan tumbuh adalah :
·         Tidak dipungut pada waktu masak
-          Kecuali pada biji-biji tembakau, tenaga tumbuh yang paling besar berasal dari biji-biji yang dipungut sebelum masak sekali, karena biji yang masak sekali mengandung minyak lebih dari 37% .
·         Biji yang dipungut dari buah yang masak dalam keadaan tidak baik, misalnya :
-          Hujan tidak banyak
-          Berbuah terlalu banyak
-          Masak darurat
·         Lama disimpan,
-          Apabila biji bertambah lama disimpan kecepatan tumbuhnya akan berkurang lebih cepat dari pada tenaga tumbuhnya
·         Pengiriman dan penyimpanan biji yang kurang baik,
-          Terlalu lembab atau terlalu kering
·         Di-fumigasi dengan gas-gas tertentu dalam waktu yang terlalu lama,
-          Misalnya dengan gas CS2 .
       Contoh penetapan tenaga tumbuh padi selama 7 hari sedang penetapan kecepatan tumbuhnya selama 5 hari.
Waktu mulai tumbuh dari biji beberapa tanaman adalah sebagai berikut :
DAFTAR 1     Waktu mulainya tumbuh biji
No. Nama tanaman                                                                                    Waktu mulai tanaman
1.       Jagung                                                                                               5- 7 hari.
2.       Kedelai                                                                                   4- 7 hari.
3.       Kacang tanah                                                                         4- 5 hari.
4.       Kacang hijau                                                                          3- 5 hari.
5.       Tembakau                                                                              7-10 hari
6.       Kacang-kacangan                                                                       7 hari.
7.       Prei                                                                                             7 hari.
8.       Seledri                                                                                        7 hari.
9.       Kubis                                                                                           7 hari.
10.   Andewi                                                                                       7 hari.
11.   Semangka                                                                                   7 hari.
12.   Selada                                                                                         7 hari.
13.   Tomat                                                                                         7 hari.
14.   Cengkeh                                                                                      7 hari.
15.   Kopi                                                                                           10 hari.
16.   Coklat                                                                                   10-15 hari.
17.   Kayu manis                                                                                  7 hari.
18.   Kesumba                                                                                8-15 hari.
19.   Pyrethrum                                                                                    9 hari.
 


3.       Kandungan air
               Kandungan air (H2O)yang terlalu banyak akan mengakibatkan benih itu akan mudah mati,bercendawan atau rusak karena serangan hama,terutama apabila yang dirusak adalah lembaganya. Maka dari itu kandungan air maksimum sangat menentukan mutu benih.
Contoh syarat sertifikasi benih padi:
DAFTAR 2           syarat sertifikasi benih padi
 

               No.            Faktor                                                                                            Kelas Benih
                                                                                                                           Benih dasar   Benih Pokok   Benih Sebar
                                                                                                                     ( FS )     ( CS )                 ( ES )

1.                   Kemurnian                                                                98%                 98%                 98%
2.                   Tenaga tumbuh                                                       80%                 80%                 80%
            Kandungan air maksimum