Pakar antropologi mendiskusikan cara
terbaik membangun karakter generasi muda. Mereka mengenali generasi muda dari
sudut pandang masing-masing.
Membicarakan Kembali Pembangunan
Karakter Bangsa: Generasi Muda Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi,
merupakan judul diskusi yang digelar oleh para antropolog, berlangsung di
Kampus UI, Depok, Kamis (25/10).
Diskusi dengan pembicara para
antropolog tersebut merupakan salah satu rangkaian acara peringatan
“Koentjaraningrat Memorial Lecture IV dan HUT ke-50 Tahun Kajian Antropologi
di Indonesia.â€
Mereka mendiskusikan sejauhmana
generasi muda dapat berperan menghadapi segala macam persaingan di era
globalisasi, yang semakin ketat sekarang ini. Mereka berupaya menemukan jawaban
hendak ke mana generasi muda Indonesia ini dibawa.
Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono,
antropolog dan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
UI, misalnya, menyoroti berbagai sisi kehidupan manusia yang selama ini luput
dari pembangun karakter, jiwa dan raga manusia.
Meutia Hatta yang juga Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) mengungkapkan, pada jaman sekarang
perhatian anak muda hanya terpusat kepada pembangunan ekonomi dengan orientasi
ke fisik. Dengan karakter demikian tak mengherankan apabila di kalangan anak
muda tumbuh subur sifat-sifat materialisme, praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), serta berbagai jenis perilaku tidak terpuji lainnya. Meutia
mengatakan, karakter anak muda saat ini sudah abai dari pembangunan
kemanusiaan.
“Sejak tahun 1974 Koentjaraningrat
sebagai Bapak Antropologi Indonesia sudah mengingatkan kita jauh hari tentang
pentingnya pembangunan karakter bangsa,†ucap Meutia, putri tertua Bapak
Proklamator Bung Hatta.
Meutia mengutip beberapa patah
kalimat perihal karakter yang tertuang dalam buku Koentjaraningat, yang masih
sangat relevan sebagai bahan perenungan. Karakter tersebut merupakan gambaran
mentalitas generasi muda saat ini.
Yaitu, pertama, mentalitas yang
meremehkan mutu. Kedua, mentalitas suka menerabas. Ketiga, sifat tidak percaya kepada
diri sendiri. Keempat, sifat tidak berdisiplin murni. Dan kelima, sifat tidak
bertanggung jawab.
Meutia menyimpulkan, menghadapi era
globalisasi, karakter generasi muda harus lebih meningkatkan pembangunan budi
pekerti dan sikap menghormati, dengan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. “Kita itu harus memiliki sifat menghargai mutu, memiliki
kesabaran untuk meniti usaha dari awal, adanya rasa percaya diri, memiliki
sikap disiplin waktu bekerja, serta memiliki sifat mengutamakan tanggung jawab,â€
paparnya.
Sedangkan Rektor Universitas
Indonesia Prof. Dr. der Soz Gumilar R. Somantri mengatakan, membangun karakter
bangsa harus secara nyata dan realistis. Yaitu membangun keunggulan dan daya
saing, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Para generasi muda sekarang ini
harus menumbuhkan memori secara kolektif untuk menuju pembangunan bangsa yang
lebih maju,†ujar antropolog lulusan luar negeri tersebut.
Menurut Gumilar, karakter bertalian
erat dengan peta kognitif dan kebudayaan. Dan faktor kunci perubahan sosial
terletak di situ. Karena itu perlu dilakukan refleksi atas konsepsi pembangunan
sejati, yang menempatkan manusia sebagai perhatian utama dalam pembangunan
karakter.
Antropolog Prof. Achmad Fedyiani
Saifuddin antropolog dari Universitas Indonesia, berpendapat senada dengan
Gumilar. Menurut Saifuddin, karakter suatu masyarakat khususnya generasi muda
adalah identitas masyarakat itu sendiri, yang diekspresikan dan dipancarkan
dari kebudayaan masyarakat. Manusia harus dipandang sebagai subyek yang dapat
berpikir, merancang kehidupan, dan memproduksi sesuatu. Peran negara hanya
sebagai fasilitator jangan lagi mendominasi sebagai kekuasaan sentral.
Dr. Johsz R. Mansoben, MA dosen
antropologi FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura menyoroti karakter
generasi muda Indonesia dari perspektif Papua. Ia secara khusus menyoroti
fenomena penyimpangan perilaku. Johsz menilai implementasi berbagai program
pembangunan manusia dari kaum elit, yang memosisikan diri mereka sebagai manusia
paling super, menjadi gagal karena program tersebut tidak sesuai dengan aturan
baku. Menurut Johsz, kegagalan pembangunan manusia seharusnya tidak perlu
terjadi apabila para pembuat kebijakan pada level nasional memahami betul
nilai-nilai dan budaya lokal.
Sementara itu pakar antropologi dari
Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Dr. Selly Riawanti, MA membagi
pengelompokan generasi muda ke dalam beberapa sudut pandang. Pertama, merujuk
kepada konsep demografi. Dalam hal ini generasi muda dibagi ke dalam usia
persiapan masuk dunia kerja, atau usia produktif antara 15-40 tahun. Selly
mengatakan saat ini terdapat 40.234.823 penduduk Indonesia masuk dalam kategori
generasi muda.
Kedua, dari sudut pandang sosial
budaya. Generasi muda dari sudut pandang ini memiliki sifat majemuk dengan
aneka ragam etnis, agama, ekonomi, tempat tinggal/domisili, dan bahasa. Mereka
memiliki ciri ekosistem kehidupan yang terbagi ke dalam masyarakat nelayan,
petani, pertambangan, perdagangan, perkantoran dan sebagainya.
Selly mengambil contoh film karya
Garin Nugroho berjudul “Anak Seribu Pulauâ€, yang melukiskan sebuah
keanekaragaman dan kesadaran sosial budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Film
itu menggambarkan anak-anak Indonesia dari berbagai daerah, dan dengan ekosistem
mereka masing-masing dengan bangga menampilkan, memperkenalkan, dan menjelaskan
kebudayaan tradisional yang dimilikinya.
Itulah berbagai ragam karakter
generasi muda Indonesia saat ini. ZAH, RON (BI 50)
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Karakter itu bersifat dinamis,
dapat berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya, walaupun
tidak mudah. Sebagai salah satu contoh adalah, dulu sering dikatakan bangsa
Indonesia sebagai bangsa Timur yang mempunyai karakter sopan, santun,
altruistik, ramah tamah, berperasaan halus dll yang menggambarkan sebuah sikap
atau perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti. Bagaimanakah kondisi
sekarang? Banyak yang meragukan bahwa karakter tersebut masih menjadi ikon
Bangsa Indonesia.
Jauh-jauh di awal kemerdekaan kita, Bung Karno, Presiden RI pertama, sudah mendengung-dengungkan istilah “nation and character building”. Artinya ada kondisi karakter bangsa yang saat itu sudah ada, namun harus diubah. Jadi bapak bangsa itu sudah mengidentifikasikan karakter yang dianggap negatif, sehingga perlu diubah. Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru sesungguhnya telah direalisasikan. Karakter bangsa yang sudah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi kepada penjajah atau bangsa terjajah, pengabdi kepada raja-raja kecil yang terkotak-kotak, pengabdi kepada kegelapan, tahyul, pengabdi kepada feodalisme, dll yang semua itu tidak cocok lagi dengan arah perwujudan bangsa atau warga negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil dan makmur. Jadi cuci otak, cuci hati, dan cuci kepercayaan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Indonesia merdeka tidak butuh pengabdi-pengabdi kepada hal-hal diatas. Perlu bangsa yang berjiwa besar, nasionalis, berintegretas tinggi, menjadi subyek di tanah air yang merdeka, setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dll. Pokoknya jika menggunakan kata-kata yang saat ini populer adalah bangsa yang ”oke”.
Jauh-jauh di awal kemerdekaan kita, Bung Karno, Presiden RI pertama, sudah mendengung-dengungkan istilah “nation and character building”. Artinya ada kondisi karakter bangsa yang saat itu sudah ada, namun harus diubah. Jadi bapak bangsa itu sudah mengidentifikasikan karakter yang dianggap negatif, sehingga perlu diubah. Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru sesungguhnya telah direalisasikan. Karakter bangsa yang sudah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi kepada penjajah atau bangsa terjajah, pengabdi kepada raja-raja kecil yang terkotak-kotak, pengabdi kepada kegelapan, tahyul, pengabdi kepada feodalisme, dll yang semua itu tidak cocok lagi dengan arah perwujudan bangsa atau warga negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil dan makmur. Jadi cuci otak, cuci hati, dan cuci kepercayaan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Indonesia merdeka tidak butuh pengabdi-pengabdi kepada hal-hal diatas. Perlu bangsa yang berjiwa besar, nasionalis, berintegretas tinggi, menjadi subyek di tanah air yang merdeka, setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dll. Pokoknya jika menggunakan kata-kata yang saat ini populer adalah bangsa yang ”oke”.
Jika kini kita mau membangun
karakter bangsa, persoalannya adalah karakter Bangsa Indonesia itu yang mana?
Kalau karakternya orang Bali, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Ambon,
Irian, dll suku bangsa yang ada di Indonesia, mungkin sudah ada. Tetapi kalau
karakternya Bangsa Indonesia tampaknya belum jelas. Bangsa Indonesia dapat
dikatakan secara resmi terbentuk ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa
yang antara lain tersebut di atas pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan
sumpahnya yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda”, mengakui berbangsa yang
satu Bangsa Indonesia, Bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Jadi pada
tahun 1928 secara fisik bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun secara
psikologis, sosial budaya, ekonomi, dll karakter bangsa belum mengkristal,
lebih-lebih ketika kita hendak tetap menjaga kebhinekaan kita. Dulu, pada era
orde baru dan orde lama diajarkan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi
nilai-nilai luhur budaya bangsa. Jika hal ini kita pegang maka karakter bangsa
Indonesia adalah Pancasilais. Karena merupakan sebuah kristal budaya maka
karakter itu maka kelima sila tiu merupakan satu kersatuan, bukan satu-satu.
Akan tetapi kini Pancasila meskipun secara yuridis formal masih diakui sebagai
dasar negara, tetapi pamornya kalah dengan demokrasi. Karakter bangsa yang
demokratis kini lebih mengedepan. Semestinya warna demokrasi di Indonesia
mestinya berbeda dengan demokrasi di negara lain. Memang perbedaan itu dapat
terlihat, setidaknya pelaksanaan demokrasi yang cederung berbau kekerasaan,
pemaksaan, dan anarkhis. Masalah lainnya, hampir semua karakter luhur itu bisa
dimiliki oleh semua manusia di dunia tanpa melihat suku atau bangsa apa.
Misalnya karakter altruistik mungkin saja tidak hanya menjadi ikon sebuah
bangsa tetapi banyak bangsa-bangsa di dunia yang berkarakter demikian. Jadi
sesungguhnya karakter itu hanya bersumber dari dua sifat khusus yaitu malaikat
dan setan. Ada karakter kemalaikat-malaikatan dan kesetanan. Dapat ditambahkan
dalam kondisi empirisnya campuran antara keduanya.
Kasus-kasus dalam
kehidupan bangsa.
Jika sekelompok karakter
dianggap menjadi ciri khas sebuah bangsa maka karakter tersebut akan sering
atau selalu muncul dalam perilakunya. Jika batasan ini dipakai sebagai acuan
maka karakter yang mendorong timbulnya atau memberi warna perilaku yang sering
muncul dalam kehidupan bangsa merupakan karakter bangsa. Kasus-kasus dibawah
ini akan memberi gambaran tentang perilaku banyak orang yang sering muncul
dalam kehidupan bersama. Dari kasus-kasus di bawah ini dapat digambarkan
karakter bangsa saat ini.
1. Di Jalan
Mungkin di semua kota besar di Indonesia dapat kita jumpai perilaku berkendara yang sangat buruk. Yaitu perilaku berkendara tidak tertib sehingga menjengkelkan, menakutkan, mengerikan bahkan mencelakan pengendara lain yang berniat tertib. Di tepi sebuah ruas jalan tol di Surabaya sampai di pasang spanduk yang berbunyi “Hormatilah Hak Orang Lain untuk Selamat”. Sungguh mengerikan. Tidak salah jika ada yang menafsirkan bahwa hati-hatilah banyak malaikat penyabut nyawa sedang mengendarai mobil.
Mungkin di semua kota besar di Indonesia dapat kita jumpai perilaku berkendara yang sangat buruk. Yaitu perilaku berkendara tidak tertib sehingga menjengkelkan, menakutkan, mengerikan bahkan mencelakan pengendara lain yang berniat tertib. Di tepi sebuah ruas jalan tol di Surabaya sampai di pasang spanduk yang berbunyi “Hormatilah Hak Orang Lain untuk Selamat”. Sungguh mengerikan. Tidak salah jika ada yang menafsirkan bahwa hati-hatilah banyak malaikat penyabut nyawa sedang mengendarai mobil.
2. Pendekar salah musuh
Ada tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran suporter, tawuran penikmat musik, tawuran antar desa/kampung, tawuran antar anggota dewan meskipun tidak seru, dll. Empat petawur yang di depan tampaknya sudah lebih sering daripada yang lain.. Pada tiap-tiap tawuran dapat kita lihat ada pendekar-pendekar disana. Tetapi sayang pendekar-pendekar itu salah musuh. Dalam banyak legenda, musuh pendekar adalah penjahat. Namun sayang mereka berkelahi dengan saudara sendiri. Pada kejadian ini bukan tawurannya yang patut kita sorot, tetapi kemampuan dalam pengendalian diri masing-masing pihak.
Ada tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran suporter, tawuran penikmat musik, tawuran antar desa/kampung, tawuran antar anggota dewan meskipun tidak seru, dll. Empat petawur yang di depan tampaknya sudah lebih sering daripada yang lain.. Pada tiap-tiap tawuran dapat kita lihat ada pendekar-pendekar disana. Tetapi sayang pendekar-pendekar itu salah musuh. Dalam banyak legenda, musuh pendekar adalah penjahat. Namun sayang mereka berkelahi dengan saudara sendiri. Pada kejadian ini bukan tawurannya yang patut kita sorot, tetapi kemampuan dalam pengendalian diri masing-masing pihak.
3. Tindak Kekerasan
Jika kita simak media masa cetak maupun elektronika, akan kita dapati bahwa tiada hari tanpa tindak kekerasan apa pun bentuknya. Ada mutilasi, ada orang babak belur, ada orang membuang anak, membuang bayi, dan tak terhitung banyaknya kekerasan dalam rumah tangga.
Jika kita simak media masa cetak maupun elektronika, akan kita dapati bahwa tiada hari tanpa tindak kekerasan apa pun bentuknya. Ada mutilasi, ada orang babak belur, ada orang membuang anak, membuang bayi, dan tak terhitung banyaknya kekerasan dalam rumah tangga.
4. Standar Ganda
Standar ganda yang paling menonjol tampak pada iklan rokok. Semua iklan rokok menampilkan karakter atau tindakan yang hebat-hebat, mulai dari karakter individu maupun sosial. Ada dua substansi yang ingin disosialisasikan yang pertama “jadilah perokok karena merokok dapat meningkatkan status, gengsi, dan kebahagiaan”. Namun secara sekilas diperlihatkan peringatan “merokok dapat menyebabkan kanker, ganguan jantung, impotensi, kehamilan dan janin”.
Standar ganda yang paling menonjol tampak pada iklan rokok. Semua iklan rokok menampilkan karakter atau tindakan yang hebat-hebat, mulai dari karakter individu maupun sosial. Ada dua substansi yang ingin disosialisasikan yang pertama “jadilah perokok karena merokok dapat meningkatkan status, gengsi, dan kebahagiaan”. Namun secara sekilas diperlihatkan peringatan “merokok dapat menyebabkan kanker, ganguan jantung, impotensi, kehamilan dan janin”.
5. Promosi
Diskon, hadiah, bonus, merupakan kondisi umum yang ada sepanjang tahun di pasar dalam arti luas. Tetapi super market yang ada di berbagai mall yang paling getol mempraktekkan jenis promosi ini. Bayangkan ada harga sebuah barang yang selalu didiskon. Artinya harga barang yang sebenarnya adalah harga yang sesudah didiskon tersebut. Tetapi pembeli tetap puas karena merasa mendapatkan harga yang lebih murah.
Diskon, hadiah, bonus, merupakan kondisi umum yang ada sepanjang tahun di pasar dalam arti luas. Tetapi super market yang ada di berbagai mall yang paling getol mempraktekkan jenis promosi ini. Bayangkan ada harga sebuah barang yang selalu didiskon. Artinya harga barang yang sebenarnya adalah harga yang sesudah didiskon tersebut. Tetapi pembeli tetap puas karena merasa mendapatkan harga yang lebih murah.
6. Korupsi
Kasus yang satu ini benar-benar unik. Demikian hebat penjalaran virus mental korup ini sampai-sampai berkembang sebuah konotasi bahwa orang yang menyanyi soal korupsi adalah orang yang tidak mendapat bagian atau tidak mendapat kesempatan. Naiti jika bagian atau kesmpatan tersebut sudah didapatkan pasti diam.
Kasus yang satu ini benar-benar unik. Demikian hebat penjalaran virus mental korup ini sampai-sampai berkembang sebuah konotasi bahwa orang yang menyanyi soal korupsi adalah orang yang tidak mendapat bagian atau tidak mendapat kesempatan. Naiti jika bagian atau kesmpatan tersebut sudah didapatkan pasti diam.
7. Ramalan
Ramalan adalah bagian dari system kepercayaan. Ada ramalan ilmiah, intuitif, dan para normal. Yang paling menonjol adalah ramalan tentang nasib dan masa depan yang dibuat oleh para normal. Banyak orang yang rela mengeluarkan uang atau datang ke tempat jauh untuk meramal keberuntungannya. Praktek perdukunan atau sejenisnya yang bukan menjadi ciri sebuah bangsa modern ternyata kini dapat memberi peluang untuk menjadi sumber penghasilan.
Ramalan adalah bagian dari system kepercayaan. Ada ramalan ilmiah, intuitif, dan para normal. Yang paling menonjol adalah ramalan tentang nasib dan masa depan yang dibuat oleh para normal. Banyak orang yang rela mengeluarkan uang atau datang ke tempat jauh untuk meramal keberuntungannya. Praktek perdukunan atau sejenisnya yang bukan menjadi ciri sebuah bangsa modern ternyata kini dapat memberi peluang untuk menjadi sumber penghasilan.
8. Pamer
Ada pamer otot, pamer kekayaan, pamer kepandaian, pamer sosial dalam bentuk pahlawan kesiangan dll. “Bapakku punya mobil baru. Bapakku rumahnya yang baru. Bapakku punya jalan dan jembatan” … Iklan yang maksudnya mendorong orang agar menjadi subyek pajak yang baik ini, mengingatkan kondisi anak-anak yang senang pamer. Anak-anak dari keluarga bahagia yang dipamerkan apalagi jika bukan orang tuanya. Bapakku guru, bapakku polisi, bapakku dokter … ini model pamer anak-anak 30 – 50 tahunan yang lalu.
Ada pamer otot, pamer kekayaan, pamer kepandaian, pamer sosial dalam bentuk pahlawan kesiangan dll. “Bapakku punya mobil baru. Bapakku rumahnya yang baru. Bapakku punya jalan dan jembatan” … Iklan yang maksudnya mendorong orang agar menjadi subyek pajak yang baik ini, mengingatkan kondisi anak-anak yang senang pamer. Anak-anak dari keluarga bahagia yang dipamerkan apalagi jika bukan orang tuanya. Bapakku guru, bapakku polisi, bapakku dokter … ini model pamer anak-anak 30 – 50 tahunan yang lalu.
9. Di Sekolahan
Pelajar yang melakukan kecurangan dalam mengerjakan tes baik tes evaluasi bulanan ataupun tahunan tetap menjadi berita. Jumlah pelajar yang melakukan kecurangan apa pun bentuknya beberapa dekade terakhir ini berbanding terbalik dengan dekade awal-awal kemerdekaan. Dulu jumlah pelajar yang jujur lebih besar daripada yang curang dalam evaluasi hasil belajar. Tekniknya juga turut berkembang mengikuti perkembangan teknologi informasi.
Pelajar yang melakukan kecurangan dalam mengerjakan tes baik tes evaluasi bulanan ataupun tahunan tetap menjadi berita. Jumlah pelajar yang melakukan kecurangan apa pun bentuknya beberapa dekade terakhir ini berbanding terbalik dengan dekade awal-awal kemerdekaan. Dulu jumlah pelajar yang jujur lebih besar daripada yang curang dalam evaluasi hasil belajar. Tekniknya juga turut berkembang mengikuti perkembangan teknologi informasi.
10. Ngerumpi
Ada kelompok ngerumpi anak-anak pada jam istirahat bahkan saat pengajaran berlangsung tetap ada pengerumpi, pemuda di sudut-sudut jalan atau pos kamling, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Kalau pengusaha, pejabat, dan orang-orang berduit lainnya tempat ngerumpinya berbeda, ada yang di lapangan golf, di café yang ada wifinya, ada juga yang ngerumpi di lokalisasi. Para pembantu rumah tangga ngerumpi di depan rumah majikannya dengan menggunakan HP. Para pegawai ada yang ngerumpi menggunakan face book di saat jam kerja. Bagi bangsa ini ngerumpi tampaknya sudah menjadi bagian dari kesejahteraan jiwa.
Ada kelompok ngerumpi anak-anak pada jam istirahat bahkan saat pengajaran berlangsung tetap ada pengerumpi, pemuda di sudut-sudut jalan atau pos kamling, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Kalau pengusaha, pejabat, dan orang-orang berduit lainnya tempat ngerumpinya berbeda, ada yang di lapangan golf, di café yang ada wifinya, ada juga yang ngerumpi di lokalisasi. Para pembantu rumah tangga ngerumpi di depan rumah majikannya dengan menggunakan HP. Para pegawai ada yang ngerumpi menggunakan face book di saat jam kerja. Bagi bangsa ini ngerumpi tampaknya sudah menjadi bagian dari kesejahteraan jiwa.
11. Di Desa (terutama yang
tertinggal)
Kesederhanaan, keramahtamahan, gotong royong, tolong menolong, toleransi, empati, dll yang mengindikasikan perilaku yang baik masih banyak diamalkan di sana.
Kesederhanaan, keramahtamahan, gotong royong, tolong menolong, toleransi, empati, dll yang mengindikasikan perilaku yang baik masih banyak diamalkan di sana.
Masih banyak kasus-kasus aktual
yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini yang dapat
dibeberkan. Tetapi 11 kasus di atas cukup menjadi dasar dalam menentukan bentuk
dan arah pembangunan karakter bangsa. Jika Pancasila masih diterima sebagai
kristal keluhuran nilai-nilai budaya bangsa maka karakter yang tercermin dalam
lima sila itulah yang harus tetap diinternalisasikan kepada segenap orang-orang
Indonesia yang kemudian melebur menjadi Bangsa Indonesia. Caranya mudah.
Ajarkan dan beri contoh penerapannya secara konsisten dan kontinyu kepada
anak-anak bangsa ini untuk melawan setan dan bersahabat dengan malaikat.
Tatalah lingkungan yang pro Pancasila.
Penulis adalah sekum BKKKS
Jatim.
Tulisan yang inspiratif. Memang bingung kalau mau ngomong soal karakter akan generasi muda sekarang. Hehe
BalasHapus