Pertanian (agriculture)
bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani
saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of
life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh
karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan
subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani
sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo
religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai
sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.
Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta
Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam
Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan
pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.
Secara ringkas tulisan
tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan
pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu
dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan
Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama,
adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit
oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen
rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja
sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis
adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap
sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat,
Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima,
pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang.
Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian
dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian
nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang
berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi
(Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah
menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334),
bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis,
sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya
bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian).
Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi
lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika
diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku
teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati
“agama” baru bahwa “farming is business”. Mengapa agribisnis? Ya,
agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih
berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan
petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti
segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten
sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan
“produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung
dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi
Sepintas paradigma
agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para
petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi
mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah
paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu
wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan,
apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan
persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah
ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan
dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena
jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown
dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau
lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat
apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan
yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya,
dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah
yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan
persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak
bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis
Yang Keliru
Asumsi utama paradigma
agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit
oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup
secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka
sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil,
atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun
ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu
tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani
kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang
diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam
kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi,
melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai
sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan
kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan
sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa
didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai
moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan
individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh.
Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma
pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani
kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan)
besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda
yang lain sekali dengan petani kita
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT
QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”,
misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank
rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek
inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture
(pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari
pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya
Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis
lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.
Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan
ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun
akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk
menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir
“adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh
keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak
ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang
Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.
Konsep dan paradigma
sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu
terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran
umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan
prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma
agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari
tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara
kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan
pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan
dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi
dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum
cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan
pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam
pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang
melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat
yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada
sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok
petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi
kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi
swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah
mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih
fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan
lapangan golf.
Jika kesejahteraan
petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata
pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya
kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture.
Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department
of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor
Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming
is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas
pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di
Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di
Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood)
atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi
bisnis.
Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan
Kini tidak mudah lagi
menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan,
karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang
mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat
prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah
dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber
utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan
pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan
sosial. Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang
memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal
Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh
rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai
dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan” oleh bonanza minyak
yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu”
pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri
subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan
bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi
telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang
anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah
yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan
sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness”
(agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin
mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan
meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak
sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau
bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen
Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut
Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak
kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita
juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business,
dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School
of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di
Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita
tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani
dan pertanian kita.
Kesimpulan
Sistem ekonomi yang mengacu
pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi
pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup
upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi,
nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya
dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila
Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan
pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat.
Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada
kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan
kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Misalnya dalam
kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi
ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke
daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi
petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan
membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual
tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan
pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang
menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat
Tinjauan aspek
sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami
sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang
mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami
berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap
merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang
menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk
di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat
berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan
buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang
kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada
lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah
penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para
pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar
agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang
harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan
keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti
pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan
atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di
perdesaan.
30 April 2003
Prof. Dr. Mubyarto – Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Awan Santosa - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
entry ekonomi kerakyatan jg dek
BalasHapusdan hasil Ansos agar lebih baik..
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut