Meskipun ilmu ekonomi pertanian telah
memberikan “andil” pada pemahaman masalah-masalah produktifitas dan efisiensi
produksi pertanian, namun masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah
kemiskinan dan keadilan sosial (Mubyarto, 1987:620)
Pendahuluan
Dalam rangka renungan “5 tahun krismon”, pakar-pakar
ekonomi pertanian kita kini nampak gusar karena dampak awal krismon yang
positif terhadap pertanian rupanya telah berubah menjadi kondisi yang sangat
berat menekan kegiatan pertanian. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha
tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin
meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini
berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur
makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung
sekolah, bahkan lapangan golf.
Tema
diskusi panel adalah “Pembangunan Agraria dan Pembaruan Pengelolaan Sumberdaya
Alam bagi Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis”. Mengapa harus ada
pembaruan (reformasi), dan mengapa agribisnis? Jika kesejahteraan petani tetap
menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian
kini tidak lagi disebut-sebut. Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih
banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture.
Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap Department of
Agriculture bukan Department of Agribusiness? Memang Doktor-doktor
Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming
is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas
pertanyaan ini dapat Ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di
Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di
Sukabumi yang sudah bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood)
atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa
menjadi bisnis.
Agriculture
bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan
kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu
kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank hanya sekitar 10%. Semangat
mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis
yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil.
Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika
telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau
teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih
menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR
yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan
modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR adalah
ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus”
(manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika
memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia
homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah
tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”.
Ideologi Agribisnis
Ideology
provides a lens through which one sees the world; a set of beliefs that are
held so firmly that one hardly needs empirical confirmation. Evidence that
contradicts those beliefs is summarily dismissed (Stiglitz, 2002:222).
Mula-mula
ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis
dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001).
Kemudian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman
konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness
(bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak ada program S2 Pertanian,
tetapi program Magister atau MM Agribisnis yang jika diteliti substansi
kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade
terakhir yang mengajarkan ideologi baru bahwa “farming is business”.
Mengapa
agribisnis? Ya, agribisnis diangggap lebih modern dan lebih efisien karena
lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan
petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala
usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Penggunaan sarana produksi apapun adalah
untuk menghasilkan produksi, termasuk pengunaan tenaga kerja keluarga, dan
semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi
tertinggi.
Jika
kita jujur mengamati praktek pertanian sebagian besar petani kita, maka teori
dan praktek agribisnis yang kita baca dalam buku-buku teks terbitan Amerika
barulah merupakan gambaran “abstrak-ideal”. Memang di Amerika
praktek-praktek agribisnis ini sudah ada dan sangat berkembang, tetapi luas
pemilikan tanah pertanian per petani adalah rata-rata 100 ha, sedangkan di Indonesia kurang dari
0,5 ha. Usaha tani (farm) di Indonesia sebagian besar bersifat subsisten,
tidak komersial, sehingga pengertian dan konsep agribisnis tidak cocok
diterapkan.
Krismon Dosa Siapa?
Di
Koran-koran kini tidak ada lagi orang menyebut krismon, krisis
keuangan, atau krisis perbankan, karena lebih mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi.
Mengapa disebut krisis ekonomi padahal banyak orang termasuk Amartya Sen
penerima hadiah Nobel Ekonomi tidak setuju menyebutnya sebagai krisis ekonomi
laksana “kiamat”.
Take
for example, the crisis in Indonesia, Thailand, earlier on, even in South
Korea. It may be wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or
10 percent fall in gross national product in one year when the country in
question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed at
the aggregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen,
2000: 187)
Jika masyarakat umum kini berbicara
tentang krisis ekonomi sebenarnya mereka sekedar ikut meneriakkan suara
orang-orang atau pengusaha-pengusaha kaya yang tidak lagi seperti masa Orde
Baru mampu memperoleh keuntungan mudah melalui cara-cara berburu rente (rent
seeking) yaitu sejumlah kecil pengusaha yang memperoleh keuntungan luar
biasa besar (hampir tanpa kerja), meskipun mereka tahu sejumlah besar pengusaha
atau masyarakat dirugikan. Keuntungan sangat besar yang dulu mereka peroleh
melalui persekongkolan dengan pemerintah (KKN) kini tidak dapat lagi mereka
peroleh karena pemerintah sendiri sudah jatuh miskin, dan berutang banyak. Maka
segala peluang mengejar rente ini sudah tertutup. Mereka (terutama eks
konglomerat) memang bermimpi “memulihkan kembali” (recovery)
perekonomian pra krismon dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, bila perlu
dengan utang-utang baru dalam rangka “pengobatan ala IMF”, dan dengan
menarik investor-investor asing dengan segala cara.
Sebenarnya
MPR hasil Pemilu 1999 telah tegas-tegas
menunjuk konglomerat sebagai penyebab krismon yang menyengsarakan
seluruh rakyat dan yang terutama memiskinkan pemerintah. Tetapi hebatnya, kini
mereka berhasil menciptakan kesan bukan mereka yang salah tetapi yang salah
adalah pemerintah, IMF, atau spekulan dari luar negeri.
Reformasi Agraria yang bagaimana?
Kini
tidak lagi mudah menyepakati apa yang harus direformasi dalam bidang agraria,
karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu telah kurang
mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat
prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah
tidak dipatuhi, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber
utama dari kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan
pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya
kita tidak akan lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes
ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial setelah Repelita I baru berjalan 4,5
tahun, dan pertanian telah tumbuh 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu
itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan”
oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang
melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta menjadi leluasa membangun
segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri berorientasi
promosi ekspor, yang kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian
sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan
pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap
benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan”
sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya
ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture
(pertanian). Perlu dicatat bahwa dalam kata agriculture ada pengertian
budaya pertanian, way of life, atau livelihood petani, yang tidak
semuanya dapat dibisniskan. Maka jika kita ingin mengadakan pembaruan
(reformasi) justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian
sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti
sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak
lagi dianggap relevan dan perlu diganti
agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah
menjadi Departemen Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di
kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti
nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika
sudah banyak School of Business, dan Department of Economics
hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami
berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak
begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal
itu tidak cocok bagi tatanan dan budaya kita.
Penutup
Kami
khawatir tinjauan aspek sosial-ekonomi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan
dengan kerangka pikir panitia penyelenggara, yang mengarahkan semua topik pada
pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian
tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan
perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya
meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus
yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada
petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap,
petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah
mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih
banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan
perhatian para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian.
Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala
sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak
memikirkan keadilannya dan moralnya. Reformasi Agraria harus berarti pembaruan
penataan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau
meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
Assuming
the framework of institutions required by equal liberty and fair equality of
opportunity, the higher expectations of those better situated are just if and
only if they work as part of a scheme which improves the expectations of the
least advantaged members of society
(Rawls, 1971:74)
Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
Makalah diskusi panel "Pembaruan Agraria", Departemen Pertanian, Hotel Salak, Bogor, 11 September 2002.
Bacaan
1. Burk,
Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and
Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London
– New York.
2. Elliot,
Jenniver A. 1994. An Introduction to Sustainable Development: The Developing
World, Routledge London, New York.
3. Mubyarto,
1987. “Masyarakat Pedesaan di Indonesia Dewasa ini dan Tantangan Profesional
Ilmu Ekonomi Pertanian” dalam Hendra Esmara (ed). Teori Ekonomi dan
Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
4. Mubyarto
& Daniel W. Bromley. 2000. A Development Alternative for Indonesia,
Gadjah Mada UP, Yogyakarta.
5. Shepherd,
Andrew. 1998. Sustainable Rural Development, Macmillan, London – St.
Martin’s, London New York.
6. Stiglitz,
Joseph. E. 2002. Globalization and its Discontents. Norton. New York.
7. Trainer,
Ted. 1996. Towards A Sustainable Economy: The Need for Fundamental Change,
Envirobook, Sydney.
anak pertanian juga' emang kudu kritis seperti ini dalam birokrasi dan perekonomian :) good job
BalasHapussmangat dwi :)
BalasHapusKutipan2 yang sangat bagus mas! lanjutkan ...
BalasHapus